Independensi
Bank Indonesia (BI) mencuat secara meluas setelah Presiden Habibie mengumumkan
susunan Kabinet Reformasi dengan secara eksplisit menyebutkannya dan
mengembalikan ketentuan yang berlaku sebelum 1983, yaitu tidak memberi
kedudukan Menteri Negara ke pada Gubernur BI. Dengan lain perkataan, Gubernur
BI bukan anggota kabinet lagi. Gubernur BI, berbeda dengan seorang Menteri,
bukan pembantu Presiden dalam kedudukannya sebagai kepala pemerintahan
Independensi
bank sentral digambarkan oleh penerapan dari konsep peran ideal bagi bank
sentral dalam pengelolaan ekonomi nasional secara makro agar efektif, yang
ternyata juga nampak di dalam praktek, sebagaimana dilaporkan dalam studi
mengenai penyelenggaraan fungsi bank sentral di banyak negara, baik maju maupun
berkembang. Ini semua perlu dicermati dalam upaya untuk menyumbang secara
positif pada proses mewujudkan Bank Indonesia menjadi bank sentral yang
independen.
Fungsi
pokok bank sentral yaitu pengelolaan kebijaksanaan moneter untuk memelihara
kestabilan, penyelenggaraan sistem pembayaran nasional serta pengawasan
perbankan, saya berpendapat bahwa yang paling utama harus diberikan
independensi adalah mengenai pengelolaan kebijakan moneter. Ini dapat
dirumuskan dalam tugas menjaga nilai rupiah, baik dalam hubungannya dengan
harga barang dan jasa (atau mengendalikan tingkat inflasi), maupun dalam
hubungannya dengan mata uang lain ( mengendalikan nilai tukar ).
Dalam
hubungan ini, apa yang disinyalir dalam studi tentang permasalahan bank sentral
di negara-negara berkembang, mengenai hubungan antara keuangan negara - dengan
anggaran yang kerapkali menunjukkan defisit dan menjadi penyebab inflasi -
dengan bank sentral yang melakukan fungsi pengendalian inflasi, untuk Indonesia
sebenarnya telah diatasi secara konseptual dengan janji pemerintah untuk
melaksanakan sistem anggaran berimbang.
Akan
tetapi, saya berpendapat bahwa pemberian status independen ini harus didasarkan
atas suatu penugasan yang eksplisit, jelas dirumuskan seperti dikemukakan di
atas. Karena itu, rumusan penugasan Bank Indonesia dalam Undang-undang tentang
bank sentral 1968 menurut pendapat saya tidak sesuai dengan pemberian status
independen pada BI. Rumusan sekarang yang sangat luas itu, meskipun nampaknya
masih relevan dengan tahap atau kondisi ekonomi Indonesia saat ini, akan
menimbulkan kerancuan mengenai tanggung jawab Bank Indonesia sebagai bank
sentral. Rumusan demikian mempersulit pelaksanaan tanggung jawabya. Kalau
sasaran kegiatan BI adalah pertumbuhan dan kesempatan kerja, maka sulit mencari
ukuran kinerjanya, kalau terjadi keadaan di mana sasaran tersebut tidak
tercapai. Tuntutan agar setiap lembaga harus accountable dalam hal ini menjadi
sulit untuk direalisasikan.
Selain
itu, perlu disadari pula bahwa meski fungsi utamanya adalah memelihara
kestabilan moneter, tidak berarti bahwa Bank Indonesia tidak mendukung sasaran
pertumbuhan, kesempatan kerja dan pemerataan. Secara konsep perlu disadari
bahwa terpeliharanya kestabilan itu akan mendukung pertumbuhan dan pemerataan.
Jadi bagi mereka yang khawatir bahwa dengan fungsi dan tugas yang eksplisit dan
terbatas ini Bank Indonesia akan "kehilangan commitment" untuk
memberi dukungan pada pencapaian sasaran pertumbuhan dan pemerataan yang
demikian penting dalam pembangunan nasional, perlu menyadari bahwa secara
implisit hal itu tetap ada. Akan tetapi, untuk kejelasan tanggung jawabnya,
maka yang disebutkan eksplisit dibatasi. Seandainya diperlukan, mungkin
formulasi untuk fungsi dan tugas Bundesbank lebih baik, disebutkan bahwa bank
sentral menunjang pencapaian sasaran-sasaran umum pemerintah, tetapi dengan
tambahan penjelasan, "sepanjang hal tersebut konsisten dengan pencapaian
sasaran pokok bank sentral."
Mengenai
penyelenggaraan sistem pembayaran, saya kira tidak ada masalah yang perlu
perhatian khusus, selain kenyataan bahwa dengan semakin majunya perekonomian,
semakin besarnya nilai transaksi, maka aliran dana yang merupakan imbalan
aliran barang dan jasa dalam perekonomian juga menjadi berlipat dalam
jumlahnya. Selain itu, kemajuan dalam sektor keuangan dan teknologi juga terus
menumbuh kembangkan kegiatan konsumsi, produksi, investasi dan perdagangan.
Apalagi dengan kanyataan semakin pentingnya arti mata uang sebagai barang
dagangan. Semua ini menyebabkan semakin besarnya nilai transaksi. Karena itu
permasalahan sistem pembayaran yang dapat mendukung meningkatkan kegiatan
ekonomi secara efisien, efektif dan aman menjadi semakin penting. Saya beberapa
waktu yang lalu telah beberapa kali mengingatkan bahwa sampai dengan terjadinya
krisis ekonomi tahun lalu, nilai kliring yang diselenggarakan BI yang dalam
tahun 1990/91 masih sekitar 5 trilyun rupiah per harinya, pada akhir 1996 telah
mencapai nilai 20 sampai 25 trilyun rupiah per hari. Ini menuntut pengaturan,
penyelenggaraan serta pengendalian sistem pembayaran yang harus semakin
canggih.
Akan
tetapi, fungsi pokok yang lain, berkaitan dengan pengaturan dan pengawasan
perbankan, perlu mendapat perhatian yang saksama. Sebagaimana saya utarakan di
atas, saya melihat penyelenggaraan pengawasan perbankan, karena kecenderungan
menyatunya kegiatan lembaga keuangan atau kaburnya batas pemisah antara
instrumen keuangan yang satu dengan yang lain, menyebabkan bahwa kegiatan
perbankan dengan lembaga keuangan lain, seperti reksa dana atau lembaga
pembiayaan lain, semakin tercampur. Karena itu, pengawasan perbankan yang terpisah
dari yang lain, menurut pendapat saya tidak memberikan hasil yang optimal. Saya
lebih cenderung untuk menyatukan pengawasan terhadap berbagai lembaga keuangan
ini dengan pengawasan bank, dibawah lembaga yang sama. Apakah setelah disatukan
diletakkan di bawah BI atau Depertemen Keuangan atau berdiri sendiri, menurut
pendapat saya tidak terlalu prinsip. Yang lebih penting adalah bahwa
pengawasannya dilakukan oleh satu lembaga, untuk memperoleh hasil yang optimal
dari pengawasannya.